[KENDARAAN MILITER] Boeing P-8A Poseidon, Dewa Laut Kandidat Pengganti Camar Emas TNI AL


Indonesia, dengan lautnya yang sangat luas, serta berbagai sumber daya alam didalamnya yang sangat melimpah menjadikan Indonesia menjadi negara dengan kekayaan alam terbesar di dunia yang menarik perhatian luar negeri. Maka dari itu, untuk mempertahankan keamanan daerahnya, maka diperlukan pesawat patroli maritim dan berbagai alutsista untuk bisa mengawasi perairan tanah air ini. Pastinya, pesawat yang dipilih harus memiliki kemampuan terbang jarak super jauh dan luas, ya mengingat luas Indonesia yang ga main-main.

Saat ini, Indonesia mengoperasikan beberapa unit CN235MPA dan 6 unit Boeing 737 Surveiller. CN235MPA pernah memiliki sejumlah hardpoints sehingga bisa membawa senjata atau rudal. Namun, Inovasi ini dinilai tidak efektif karena CN235 tidak mampu terbang dengan jarak super jauh, serta rudal yang dibawa cukup berat. Sementara 737 surveiller sudah berumur.

Namun, apakah Indonesia bakal tertarik dalam pengaukisian Boeing P-8 Poseidon yang menjadi solusi atas dua masalah ini? Mari kita bahas sedikit. 

Pesawat Patroli kelas High End Terbaik
Boeing P-8 Poseidon merupakan pesawat patroli maritim sekaligus anti kapal selam yang diambil dari basis Boeing 737-800 atau 737 NG8. P-8 Sendiri memulai debutnya oleh US Navy pada tahun 2009. Awalnya, US Navy berencana menggantikan sejumlah unit P-3 Orion yang sudah tua. Lalu ditawarkan proposal dengan basis Boeing 737-800. BAe System pernah menawarkan Nimrod MR4, namun malah keluar di tahun 2002. Pada tahun 2004, Boeing resmi terpilih sebagai kontraktor utama program ini.

Mengembangkan Sang Dewa Laut membutuhkan jumlah perusahaan dan waktu yang sangat banyak. Boeing harus bekerjasama dengan berbagai peusahaaan seperti BAe System, Northrop Grumman, Raytheon, Marshall Aerospace's, GE Aviation System, Marotta, hingga CFMI. Pada tahun 2009, dimulainya debut P-8 pertama milik USN, dan diberi seri P-8A.

Kemampuan 
Pesawat ini menggunakan radar buatan Raytheon yakni APY/AN-10 yang merupakan radar pencarian daratan dan lautan. Pesawat ini juga dilengkapi dengan sistem pendukung pengukur elektronik tipe ALQ-240 serta radar AN/APS-154 advanced airborne sensor.

Sementara, P-8 bisa menggotong rudal AGM-84 Harpoon Block baru dan Mk54, dan sejenisnya. Terdapat 11 hardpoint dan bomb bay. Hal ini justru berbeda dengan 737 Surveiller TNI AU yang mengandalkan Radar SLAMMR buatan Motorola yang sudah tidak muda lagi. Maklum, Surveiller kita diambil dari basis 737-200 dan airframenya juga sudah berumur

Selain itu, P-8 memiliki kemampuan mengontrol UCAV atau drone. Kemampuan ini menjadikannya kelebihan utama selain kemampuan ASW, ASuW, dan MPA.

Tak hanya itu saja, P-8A juga pernah dilibatkan dalam pencarian MH370 milik Malaysia Airlines. Sejak itu, Boeing menawarkan pesawat tersebut kepada Malaysia, namun negeri Jiran tersebut belum berani membelinya. Perlu diketahui, AS pernah berencana memasang P-8 di Malaysia dan pemerintahnya menyetujuinya. Namun tidak ada informasi dan kejelasan. Akhirnya, Singapura terpilih untuk dijadikan pangkalan P-8. 

P-8 sendiri sudah digunakan AS, Australia, Inggris, Norwegia, India, Selandia Baru (Potensial), Korea Selatan (Potensial), dan negara lainnya.

Bagaimana dengan Indonesia?
Memang belum ada ketertarikan atau rencana bahwa Indonesia ingin memiliki P-8. Semua itu tertutup dengan rencana  Indonesia yang saat ini lebih fokus dalam pengembangan produk dalam negeri dan produksi kapal fregat, diantaranya Iver Huitfieldt, 30FFM, FREMM, serta La Fayette Class. Dari salah satu edisi majalah Angkasa, menyebutkan bahwa pemerintah pernah berminat memboyong Poseidon, namun kebijakan ini ditepis dengan alasan sistem patroli dan sistem akuisisinya berbeda dengan negara tetangga.

Beberapa waktu lalu, TNI AL/AU pernah mengujicobakan CN235MPA dengan menggotong rudal, namun dinilai tidak efektif. Hal ini dikarenakan CN235 mengalami keberatan saat terbang dalam kondisi jauh mengingat ukurannya, apalagi dengan menggotong rudal yang dibawa seperti rudal Harpoon ataupun Exocet, sehingga butuh pesawat MPA kelas berat yang bisa mengatasi masalah diatas. CN 235 sendiri memang hanya diperuntukan untuk pencarian SAR, mendeteksi kapal asing masuk, dan patroli maritim saja, namun yang amat disayangkan tidak ditambahkan hardpoint, walau sebenarnya sudah pernah dicoba.

Jika kita melihat 737 Surveiller kita, tentu sudah dipandang tidak muda lagi. Terlebih usia airframe pesawat sudah tua, mesin yang diusung yakni JT8D yang sudah diharamkan terbang di manapun, apalagi Singapura, serta radar Motorola SLAMMR yang sudah tidak memiliki dukungan dan spare parts lagi. Walau sudah di-upgrade dan ditambahkannya E/O camera, tetap saja harus memerlukan pengganti.

Maka dari itu, diperlukan pesawat yang berkemampuan jarah jauh, dengan mesin jet atau propeller, bisa membawa senjata, membawa ranjau laut, dan memiliki sistem, sensor dan sonar yang baik. Beberapa basis pesawat kelas high-end seperti Bombardier CS Series, Boeing 737 (P-8), Kawasaki P-1 dari Negeri Doraemon alias Jepang, ataupun Airbus yang saat ini berencana memproduksi pesaing Poseidon, yakni A320MMA, bisa menjadi kandidat pengganti Camar Emas yang siap menanti Sakaratul Maut lantaran sudah uzur dan sudah tidak layak terbang.

Untuk masalah kepemilikan, P-8 atau kandidat sejenis harus dikelola Pusbenerbal, bukan lagi TNI AU mengingat berbeda tugas pada setiap matranya. Semoga saja, ini terealisasikan, mengingat Indonesia siap mengerjar MEF II, dan pastinya Korona bisa lenyap dari negeri ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[RAILWAYS] Lokomotif CC 206 (GE CM20EMP), Lokomotif dengan Populasi Terbanyak se Indonesia

[RAILWAYS] Perkembangan Livery Kereta Api Indonesia dari masa ke masa

[RAILWAYS] Livery Facts of Indonesian Railways Locomotives